buku ini sangatlah bagus, di dalam buku ini membahas permasalah system sekolah. target pembaca yang paling tepat adalah seorang siswa/guru/orang yang berada di sekolah. saya baru membaca sedikit aja sudah meresapi kisah yang di ceritakan di buku tersebut. di buku itu di memberikan fakta yang berada di bidang pendidikan di negara kita. kita selalu di paksa untuk sekolah, padahal kita saja tidak cinta dengan sekolah. kita selalu di paksa untuk belajar demi meraih masa depan yang tak jelas. tetapi itu semua fakta yang berada di negara kita. lebih baik kita tak usah belajar di tempat yang bernama sekolah, di sekolah kita tak pernah diri kita sendiri, ibarat kita selalu memakai topeng untuk berbohong di sekolah.
langsung saja, ini adalah cuplikan cerita pada halaman awal. ini adalah judul SOS nya, untuk daftar isi Novel Tak Sempurna
Namaku Rama Aditya
Putra. Panggil aku Rama. Aku ingin bercerita tentang sekolah. Jika tidak
benar-benar siap, sebaiknya siapapun tidak meneruskan membaca cerita ini.
Tetapi jika benar-benar ingin tahu, tentang sekolah dan segala hal yang tersinggung
dengannya, mungkin beberapa yang akan kuceritakan berikut ini belum kaian
ketahui… aku ingin memulai semuanya dengan menceritakan sekolahku—
***
Sekolahku
adalah tempat terbaik untuk bertumbuh: Guru-guru, dengan pakaian rapi dan
rambut kelimis, tersenyum ramah menyambut semua murid yang memasuki kelas penuh
harapan. Guru, begitu kami menyapa mereka, seperti sesungguhnya: Teladan
utama yang benar-benar patut di gugu lan ditiru.
Di kelas,
palajaran-pelajaran disampaikan dengan cara yang menyenangkan. Murid-murid
saling membantu – mengulurkan tangan untuk siapa saja yang terjatuh dan menyapa
hangat saat temannya kesepian. Tak ada kata-kata kotor di sana, tak ada umpatan
dan caci-maki, semua yang terlontar dari lidah semua orang bagai madah yang mengalun
indah.
Di
sekolahku, ada cinta dan persahabatan, juga hal-hal lainnya yang karena begitu
indah sekaligus menyenangkan menjadi tak bisa dilukiskan kata-kata. Ya, tak
tertola, sekolahku adalah tempat yang paling tepat untuk menempa diri dan
menyiapkan masa depan! Disanalah kami mendapatkan ilmu pengetahuan,
pengalaman-pengalaman, kebenaran-kebenaran.
Di
sekolahku, tak ada hal yang lain kecuali baik dan benar, dari logika, etika,
hingga estetika. Tak ada yang lebih baik dari tempat ini. Semuanya berjalan
tertib dan sesuai harapan. Barangkali, jika kitab suci belum selesai
dituliskan, sekolahku bisa diandaikan sebagai surga di dunia!
Di
sekolahku, saat murid-muridnya lulus, mereka bisa bergembira merayakan
keberhasilannya dalam pesta apa saja yang paling membuat mereka berbahagia.
Setelah semua itu, mereka akan mendapatkan pekerjaan yang baik, menjadi orang
baik-baik, sukses dan kaya raya, mendapatkan jodoh dan berkeluarga, hidup
bahagia selama-lamanya…
Itulah
sekolahku. Jika tak percaya, datanglah ke sana: maka kau akan menemukan
kebohongan-kebohongan semacam ini, lebih banyak lagi…
***
Cih!
Aku muak
dengan semua ini! Sekolahku adalah tempat sampah bagi semua kotoran dan
kebusukan dunia. Di sekolah aku pertama kali mengenal hampir semua kata-kata kotor,
umpatan, dan makian. Di sana aku pertama kali berkalahi, coba-coba jadi jagoan.
Teman-teman memperkenalkan aku pada video-video porno, dan aku jadi kecanduan.
Lalu mereka mengajariku merokok – kadang-kadang melinting ganja, minum-minum,
sesekali mencoba “obat-obatan”, meski tak sampai kecanduan. Tak ada yang tahu,
tentu saja, apalagi orangtua. Kami melacak dan merayakan kedewasaan kami secara
sembunyi-sembunyi dalam keramaian dan hiruk-pikuk pesta yang kami ciptkan untuk
kelompok kami sendiri.
Di sekolah,
orang-orang di panggil dengan nama binatang. Biasa saja. Di sana, orangtua kami
tak ada harganya, dicaci-maki dan dilecehkan. Kurang ajar. Guru-guru,
kebanyakan dari mereka munafik dan menyebalkan, mereka mengajari kami
kebaikan-kebaikan yang tak pernah mereka contohkan dalam tindakan keseharian.
Dan entah apa yang berjejalan dalam kepala mereka, sebab setiap hari seolah
menjadi penjajah yang menjerumuskan kami ke jurang-jurang penderitaa!
Sayangnya, kami seolah tak punya pilihan: setiap hari kami bangun pagi,
terhipnotis untuk selalu datang lagi ke sekolah, berbaris rapi mengantrekan
diri untuk seolah senang hati mendapatkan tekanan-tekanan, menjalani
penderitaan-penderitaan, memikul beban-beban yang tak pernah kami inginkan.
Demi masa
depan? Entah nabi mana yang mengajari bahwa sekolah akan menjamin masa depan
yang baik. Sekolah? Bullshit! Kenyataanya, jutaan pengangguran berijazah
sekolah setiap tahun mengantre di perusahaan-perusahaan yang dimiliki
orang-orang putus sekolah! Aneh! Aku setuju bahwa manusia perlu ilmu
pengetahuan, dan ilmu pengetahuan adalah modal penting untuk mendapatkan masa
depan yang baik, tetapi bisakan semua itu tak dimonopoli dan dikalengkan di
pabrik-pabrik pengetahuan bernama sekolah? Ah, aku benci mengatakan ini: aku
benar-benar membenci sekolah, tapi aku tak punya pilihan lainnya!
***
Dua tahun
lalu, minggu pertamaku di sekolah, murid laki-laki dikumpulkan—lalu di giring
ke sebuah bekas gedung tua yang sepi di area belakang sekolah. Kakak-kakak
kelas ada alumni juga di antara mereka, meminta kami jongkok, push up, scott
jump, berjalan bebek, atau apa saja yang membuat mereka tertawa dengan jumawa.
Lalu nama kami di panggil satu per satu, di tampar bergiliran. Siapapun yang
memiliki wajah “menyebalkan” menurut mereka, harus rela menerima pukulan dan
tendangan lebih banyak lagi. Siapapun yang terlihat bodoh, mulai hari itu
mendapat predikat “si bodoh” atau “si tolo” atau “si idiot” untuk
selama-lamanya.
Ketika Gaus
dipanggil “si idiot” karena raut wajahnya selalu ketakutan dan ia tak lancar
berbicara, aku tak tahu bagaimana harus membayangkan perasaannya. Sementara kakak-kakak
kelas tertawa, sebagian dari kami juga. Aku melihat Gaus hanya diam saja. Tertunduk.
Sesekali melihat sekeliling yang sedang menertawakannya. Aku membayangkan
perasaanya yang tiba-tiba jadi asing. Ciut. Si idiot. Si idiot. Si idiot. Aku membayangkan
kata-kata itu, hinaan itu, terus menerus menggema di dalam kepalanya,
meruntuhkan perasaanya, mengecilkan dirinya untuk selama-lamanya.
Demikianlah.
Tolol. Bego. Monyet. Banci. Dangdut. Kodok. Ngepet. Udik. Bangsat. Apapun bisa
menjadi nama lain buat masing-masing kami. Terserah selera dan kehendak kakak
kelas yang mulia! Beberapa dari kami diminta berduel satusama lain, untuk membuktikan
mana yang benar-benar laki-laki, setengah laki-laki, atau seperempat laki-laki,
di pukul, ditendang. Dan siapapun yang berani melawan atau melaporkan semua ini
pada guru atau orangtua, tak akan selamat! Jelas semua ancaman itu membuat kami
tak berani melakukannya. Akhirnya, semua ini kami simpan rapat-rapat. Seperti dia
mana-mana. Jika nekat, jangan harap semua akan baik-baik saja!
“biar mental
lu kuat! Sekarang lu pada udah SMA!” Kata salah seorang dari senior kami,
sambil menampari wajah-wajah kami yang lesu dan ketakutan, “Anak Lazuardi nggak
boleh cemen! Yang nangis, pergi sana pake rok! Pake lipstick! Anjing!”
Kami diam
saja. Tak ada pilihan lain.
“ini baru
latihan. Kita masih baik. Lawan elu semua yang sebenernya ada di luar sana! Mereka
bisa nyerang elu semua kapan aja! Mereka nggak nyerang elu pake tangan kosong! Mereka
bawa senjata, apa aja yang bisa ngabisin nyawa elu semua! Jangan nangis! Cemen!
Banci! Kita semua kayak gini bukan berarti kita enggak suka sama elu! Sebagai senior,
kita justru tanggung jawab buat bikin elu
siap ngadepin kenyataan sesungguhnya di luar sana! Kita punya peperangan
kita sendiri”
Waktu itu,
aku masih belum mengerti sepenuhnya apa yang dijejalkan ke telinga kami. Tetapi
semua tentang kebencian. Bahwa kami harus kuat. Dan di luar sana, semuanya akan
lebih gila dari kebiadaban ini. Tetapi segila apa?
Hari demi
hari berlalu. Berminggu-minggu mendapat perlakuan seperti itu, akhirnya
beberapa di antar kami dinobakan sebagai “skuad” resmi Brigade Lazard. Aku termasuk
salah satu di antara mereka, secara terpaksa tentu saja. Aku dianggap cukup
tangguh untuk menjadi “pasukan” yang siap membela harga diri SMA Lazuardi,
Lazard. Sebagaian lain, yang tak termasuk dalam kelompok ini, secara resmi
menjadi “banci” sekolah yang akan dihina sampai kapan saja. Mereka tak termasuk
dalam “kelompok”. Mereka tak punya fasilitas “pembelaan” jika kapanpun
mendapatkan ancaman atau bahaya, dan hampir tak punya harga diri sebagai
laki-laki.
Apa yang
terjadi dengan murid-murid perempuan? Konon, murid-murid perempuan juga
mendapatkan “penataran” serupa, meski dengan cara yang berbeda, lebih lembut
dan berprikemanusiaan. Ah, tapi aku tak banyak tahu tentang semua itu. Aku pemalu
soal perempuan.
***
Aku ingin
mendapatkan pendidikan, tapi aku benci sekolah!
Sekarang,
mungkin semua yang kuceritakan ini terdengar berlebihan. Nyinyir. Palsu. Atau apapun.
Seolah-olah aku hanya remaja labil yang karena tak sanggup memikul tugas-tugas
yang di bebankan sekolah, lantas frustrasi dan membabi-buta menyalahkan
segalanya tentang sekolah. Aku tahu akan ada di antar kalian yang menganggapku
demikian. Mungkin benar juga, aku adalah sampah dunia pendidikan yang tak
sanggup berkompetisi dalam sebuah arus-utama bernama sekolah. Terserah kalian
saja. Tapi jika banyak orang punya pirkiran dan perasaan sepertiku, aku kira
tentu ada yang salah dengan sekolah – system pendidikan – kan?
Tentang semua
itu, aku bukan ahlinya, tetapi aku akan menceritakan semua kisahku apa adanya…
aku ingin kalian membacanya dan mengetahui bahwa aku, dan teman-temanku,
benar-benar butuh pertolongan. Ada yang salah dengan sekolah. Paling tidak, ada
yang salah dengan sekolahku!
0 comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan baik, jangan mengandung sara/kata kotor/tidak sopan. karena komentar seperti itu tidak akan kami jawab. atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih